AD 468 x 60size

Sonder Berbagi

Thursday, February 7, 2013

Indonesia Adalah Agen CIA

Indonesia Today News

Mantan mantan Komandan Satgas Intel Badan Intelijen Strategis (BAIS) Laksamana Pertama TNI Purn Mulyo Wibisono tidak terkejut laporan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) internasional, Open Society Foundation (OSF) yang menyebut Indonesia agen CIA.

“Saya tidak terkejut laporan itu, sejak era Soekarno sampai sekarang, CIA mencampuri kebijakan Indonesia. Para pemimpin Indonesia itu menjadi agen CIA. Kalau tidak mau kerjasama akan disingkirkan,” kata Mulyo kepada itoday, Kamis (7/02).

Menurut Mulyo, dalam menjalankan kerjanya, CIA biasanya merekrut kalangan akademisi, politisi dan birokrat. “Para agen yang direkrut itu tidak mengetahui, tetapi pemikiran mereka sudah teracuni untuk mendukung kebijakan CIA dan AS,” ungkap Mulyo.

Kata Mulyo, saat ini, sangat terlihat kebijakan Indonesia dalam memerangi terorisme sangat berkiblat kepada Amerika Serikat (AS). “CIA berhasil melakukan penetrasi menempatkan agen-agennya yang ada di Indonesia dalam menjalankan program memerangi terorisme,” jelas Mulyo.

Mulyo menegaskan menjadi agen CIA itu tidak harus bule (orang barat) dan dalam bekerjanya seperti dalam film James Bond. “Banyak orang Indonesia yang sudah menjadi agen CIA, lihat saja penuturannya yang sudah berkiblat ke AS. Selalu mendewa-dewakan AS. Padahal saat ini, AS sudah mau bangkrut,” tegas Mulyo.

Selain itu, Mulyo mengatakan, AS sangat berkepentingan menguasai Indonesia. “AS itu sangat berkepentingan menguasai Indonesia karena kekayaan yang dimiliki, Freeport sampai sekarang itu dikuasai AS,” pungkasnya.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) internasional, Open Society Foundation (OSF), merilis data mengejutkan tentang keterlibatan 54 negara termasuk di dalamnya Indonesia, dalam aktivitas penyiksaan, penculikan, penahanan, pemindahan seseorang ke negara lain tanpa melalui proses hukum, dan penculikan terduga teroris oleh badan intelijen Amerika Serikat (AS), CIA.


Tribun News
Sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) internasional, Open Society Foundation (OSF), merilis data mengejutkan tentang keterlibatan 54 negara termasuk di dalamnya Indonesia, dalam aktivitas penyiksaan, penculikan, penahanan, pemindahan seseorang ke negara lain tanpa melalui proses hukum, dan penculikan terduga teroris oleh badan intelijen Amerika Serikat (AS), CIA.

Dalam laporannya yang dipublikasikan, Selasa (5/2/2013), dengan judul Penyiksaan Global: CIA Rahasia Penahanan dan Rendition Luar Biasa, OSF mengatakan, program kontraterorisme CIA dengan ke 54 negara itu telah menjaring sebanyak 136 orang terduga teroris.

Ke 54 negara tersebut beber OSF adalah, Afghanistan, Albania, Aljazair, Australia, Austria, Azerbaijan, Belgia, Bosnia-Herzegovina, Kanada, Kroasia, Siprus, Republik Ceko, Denmark, Djibouti, Mesir, Ethiopia, Finlandia, Gambia, Georgia, Jerman, Yunani, Hong Kong, Islandia , Indonesia, Iran, Irlandia, Italia, Yordania, Kenya, Libya, Lithuania, Macedonia, Malawi, Malaysia, Mauritania, Maroko, Pakistan, Polandia, Portugal, Rumania, Saudi Arabia, Somalia, Afrika Selatan, Spanyol, Sri Lanka, Swedia, Suriah, Thailand, Turki, Uni Emirat Arab, Inggris, Uzbekistan, Yaman, dan Zimbabwe.

Peran ke 54 negara-negara tersebut dalam membantu CIA bermacam-macam, misalkan Iran , yang selama ini tidak memiliki hubungan diplomatik dengan AS, berpartisipasi dengan menyerahkan setidaknya 15 terduga teroris ke tangan pihak berwenang AS tanpa melalui kota Kabul, Afghanistan tanpa proses hukum yang berlaku.

Tak hanya Iran, sejumlah negara lainnya dalam daftar rekanan CIA itu juga melakukan hal yang serupa, seperti Zimbabwe yang menyerahkan lima orang terduga teroris yang mereka tangkap di Malawi pada Juni 2003, ke CIA.

Turki, negara lain yang berada di dalam daftar yang juga merupakan sekutu NATO, membantu CIA dengan mengizinkan beroperasinya perusahaan penerbangan Richmor Aviation, yang telah dikaitkan dengan CIA. Mereka mengizinkan pesawat yang dioperasikan Richmor, mengisi bahan bakar di kota Adana pada tahun 2002 dan menyerahkan tersangka teroris berkewarganegaraan Irak kepada CIA di tahun 2006.

Banyak negara-negara lainnya yang berada di dalam daftar yang menjadi tuan rumah bagi program penerbangan redensi CIA, termasuk diantaranya Sri Lanka, Thailand, Afghanistan, Belgia dan Azerbaijan



Aktivitas CIA di Indonesia
NSC 5581

Pada bulan May 1955, satu bulan setelah Sukarno menjadi tuan rumah pertemuan Negara Negara Non Blok, Washington mengeluarkan kebijakan Amerika terhadap Indonesia di NSC 5518. Di dalam dokumen ini, operasi rahasia (covert action) disetujui untuk dipakai menumbangkan Sukarno jika Sukarno memberi kontrol kepada partai sayap kiri. Provisi pendanaan Partai Masjumi kemungkinan adalah penjabaran kebijakan NSC 5518.

Pengumpulan Intelligent

Di dalam sebuah percakapan di Washington sekitar 1958, Militer attaché Indonesia untuk Amerika menyebutkan bahwa terdapat banyak tokoh dan pembesar di Indonesia yang akan siap untuk bangkit melawan Presiden Sukarno jika mereka diberi sedikit dukungan dan dorongan dari Amerika Serikat. Salah satu dari pembesar dan tokoh ini adalah seorang staff CIA yang kemudian melaporkan pembicaraan diatas ke Frank Wisner, Deputi Direktor Perencanaan (Deputy Director of Plans).

Operasi Rahasia

Attaché militer Indonesia kemudian kembali ke Indonesia dengan personalia CIA berkedok militer. Mereka secara bersama berhasil cukup mempelajari potensi kekuatan opposisi sayap kiri dan mendorong CIA untuk memulai operasi yang terbesar pada saat itu. Personalia - personalia itu kemudian menghubungi anggota militer Filipina, terutama Kolonel Valeriano, yang pernah bekerja sama dangan CIA dengan Ramon Magsaysay melawan pemberontakan sayak kiri Hukbalahap.

CIA dan kelompok kekuatan anti pemberontakan Filipina, pada awal 1958, telah mendirikan markas latihan 'special operation', yang diduga dipandu oleh pelatih dari Pasukan Khusus AD Amerika (United States Army Special Forces) dan memberi akses airport rahasia di pulau Palawan dan Mindano kepada pemberontak anti Sukarno di Indonesia.

Pada tanggal 9 Februari 1958, Pemberontak Letnan Kolonel Maluddin Simbolon mengeluarkan ultimatum atas nama pemerintah propinsi Sumatera Utara, menuntut pembentukan pemerintahan baru. Sukarno menolak tuntutan itu dan memerintahkan pemimpin TNI, Jendral Abdul Haris Nasution untuk menghentikan pemberontakan itu. Pada bulan Februari 21, TNI menerbangkan prajurit ke Sumatra dan memulai penyerangan. Markas pemberontakan di kota Padang dan Permesta mempunyai kedudukan kuat di semua daerah sampai ke Medan.

CIA mendukung pemberontakan di Indonesia melalui markas udara di Naha, Okinawa, dibawah kepemimpinan Ted Shanon. Fasilitas lainnya adalah di Taiwan, dimana pesawat pembom A-26 disiapkan untuk diterbangkan ke pangkalan di Filipina yang kemudian dipakai untuk membantu pemberontak di Indonesia. CIA, melalui stok senjata marinir dan angkatan darat Amerika, memberi 42.000 pucuk riffles. Pemberontak Indonesia yang telah dipersenjatai, kemudian dikembalikan ke Sumatra melalui air drop dari Filipina dan juga didaratkan dengan kapal selam.[2] Pada bulan Mei 1958, sebuah A-26 yang dioperasikan oleh perusahaan penerbangan CAT Civil Air Transport ditembak saat operasi pemboman dan pemberitaan penembakan ini menghentikan operasi mendukung pemberontakan Permesta.


1965

Sebuah proposal kemudian disetujui pada bulan Maret, yang diikuti 'intermediate memorandum' pada bulan Juli, dan SNIE pada bulan September, mengenai hal-hal yang terkait di Indonesia dan Malaysia. Walaupun demikian, Amerika Serikat tidak mengantisipasi tingkat intensitas gerakan pembersihan yang dilakukan oleh TNI terhadap PKI.

Operasi Rahasia

Di dalam action proposal bulan Maret, personalia operasi rahasia, mulai dari musim panas 1964, bekerja sama dengan kementrian luar negeri Amerika (Department of State) melakukan rencana aksi politik di Indonesia yang ditujukan membantu opponent-opponent PKI, dan juga Cina. Operasi-operasi ini menekankan ketidak-akuran antara Indonesia dan Cina. Program ini dikoordinasi antara Kementrian Luar Negeri Amerika, Asistent Sekertaris untuk Urusan Asia Timur (Assistant Secretary for Far Eastern Affairs), dan Duta Besar Amerika untuk Indonesia.

Kegiatan ini mencakup liason, dukungan keuangan pada kelompok-kelompok anti komunis. Kegiatan lainnya mencakup propaganda (Black Propaganda) dan aksi politik. Salah satu tujuan kegiatan ini adalah mendorong koordinasi dan persetujuan umum antar elemen-elemen anti komunis di Indonesia. Program ini konsisten dengan kebijakan Amerika yang berusaha membentuk Indonesia menjadi negara anti komunis yang stabil.

1998

Ketua DCI Amerika George Tenet mengatakan bahwa pendeklasifikasian sembilan operasi merupakan bagian dari sejarah rahasia dari kekuasaan Amerika yang dilakukan oleh tiga president terhadap berbagai negara-negara asing. Operasi ini termasuk upaya membantu non komunis sayap kiri di Prancis dan Itali pada akhir 40-an and awal 50-an, operasi guerilla di Korea Utara and Korea selatan pada saat perang Korea, kegiatan propaganda politik dan misi pengeboman di Indonesia pada tahun 50-an, aktivitas paramiliter di Laos dan Tibet pada tahun-tahun awal terlibatnya Amerika di Vietnam dan berbagai plot pembunuhan di Kongo dan Republik Dominika pada awal 60-an

1958: CIA vs Soekarno

“Saya pikir inilah waktunya kami menggiring kaki Sukarno ke api,” kata Frank Wisner, yang kemudian menjadi Deputi Direktur Perencanaan CIA, pada tahun 1956. Pada 1958, setelah gagal membeli pemerintahan Indonesia melalui proses pemilu 1955, CIA mengobarkan operasi penuh di Indonesia. Operasi Hike, seperti yang disebut, melibatkan persenjataan dan puluhan ribu warga Indonesia terlatih serta “tentara bayaran” untuk memulai serangan dengan target untuk menjatuhkan Soekarno.

Joseph Burkholder Smith adalah seorang mantan agen CIA yang terlibat dengan operasi di Indonesia selama periode ini. Dalam bukunya, Potraits of a Cold War (Potret Perang Dingin), dia menggambarkan bagaimana CIA berperan langsung membuat, tidak hanya sekedar memberlakukan, kebijakan di daerah ini:

sebelum melakukan tindakan langsung terhadap posisi Sukarno bisa diambil, kita harus mendapatkan persetujuan dari Kelompok Khusus — kelompok kecil pimpinan pejabat puncak Dewan Keamanan Nasional yang setuju menutupi rencana aksi rahasia ini. Penyebutan prematur ide seperti ini mungkin akan mendapatkannya ditembak jatuh …

Jadi kita mulai memberi masukan intelijen kepada Departemen Luar Negeri dan departemen Pertahanan … Ketika mereka telah cukup membaca laporan yang mengkhawatirkan, kami berencana untuk memunculkan saran bahwa kita harus mendukung rencana Sang Kolonel (Suharto) untuk mengurangi kekuasaan Sukarno. Ini adalah metode operasi yang menjadi dasar dari banyak aksi petualangan politik tahun 1960-an dan 1970-an. Dengan kata lain, mengaburkan fakta, bahwa CIA melakukan campur tangan (intervensi) dalam urusan negara-negara seperti Chili hanya setelah diperintahkan untuk melakukannya … Dalam banyak kasus, kami membuat program aksi sampai diri kita sendiri setelah kami telah mengumpulkan cukup intelijen untuk membuat mereka tampil diperlukan oleh situasi. Kegiatan kami di Indonesia pada 1957-1958 adalah salah satu contoh tersebut.

Ketika Duta Besar USA di Indonesia menulis surat kepada Washington mengenai ketidaksetujuannya secara eksplisit mengenai penanganan situas oleh CIA, Allen Dulles mendapatkan saudaranya John Foster menunjuk seorang Duta Besar yang berbeda untuk Indonesia, seseorang yang lebih menerima kegiatan CIA.

Selain kegiatan paramiliter, CIA mencoba trik perang psikologis untuk mendiskreditkan Sukarno, seperti lewat desas-desus bahwa ia (Sukarno) telah tergoda berselingkuh dengan seorang pramugari Soviet. Untuk itu, Sheffield Edwards, Kepala Keamanan Kantor CIA, meminta Kepala Departemen Kepolisian Los Angeles untuk membantu dengan proyek pembuatan film porno, yang CIA putuskan untuk digunakan terhadap Sukarno, seolah-olah menampilkan Soekarno berperan porno. Orang lain yang terlibat dalam upaya ini adalah Robert Maheu, dan Bing Crosby dan saudaranya.

Badan Intelejen (Agency) berusaha untuk menjaga rahasia partisipasi kudeta, akan tetapi salah satu “tentara bayaran” menemui ketidakberuntungan di awal. Dia ditembak jatuh dan ditangkap selama menjalankan pemboman, Allen Lawrence Pope membawa semua jenis ID (Identity Card) pada dirinya yang menunjukkan bahwa ia adalah seorang agen CIA. Pemerintah AS, sampai ke Presiden Eisenhower, mencoba menyangkal bahwa CIA sama sekali tidak terlibat kudeta, tetapi tersingkapnya AL Pope mengolok-olok sangakalan ini. Tidak takut oleh memicu, seperti Arbenz telah alami di Guatemala, Soekarno membariskan pasukan yang setia kepadanya dan menghancurkan pemberontakan yang dibantu CIA. Sebelum skandal Bay of Pigs (Teluk Babi), ini adalah operasi terbesar Agency gagal.

Sumber
http://www.kaskus.co.id/thread/51135e121fd719797700000c/indonesia-adalah-agen-cia/1